Latest News

Thursday, 19 June 2014

Tjitaroemplein by Sudarsono Katam

 
Tjitaroemplein by Sudarsono Katam

[No. 334]

Judul : Tjitaroemplein
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan :  I, Mei 2014
Tebal : 100 hlm
ISBN : 978-979-8003-42-4

Buku ini mengupas keberadaan Lapangan Citarum (Tjitaroemplein) Bandung dari masa ke masa. Seiring perkembangan zaman dan sejarah tentang lapangan ini yang tampaknya dilupakan orang Lapangan Citarum kini sudah tidak ada, di bekas arealnya kini sudah berdiri tegak Masjid Istiqomah Bandung dan sedikit taman yang dinamai Taman Citarum.  Dengan membaca buku ini kita akan mengetahui bahwa Lapangan Citarum yang telah hilang  itu ternyata memiliki sejarah panjang terkait sejarah telekomunikasi Hindia Belanda (Indonesia) pada masa lampau.
Lapangan Citarum  pertama kali didirikan pada tahun 1918. Lapangan ini berbentuk elips yang membujur dalam arah timur - barat yang terletak di sebuah kompleks perumahan dimana terdapat sebuah kantor pos dan dua buah sekolah yang didirikan pada tahun 1920-an.
Yang paling menarik dari lapangan ini adalah didirikannya sebuah monumen di atas sebuah kolam sebagai peringatan keberhasilan stasiun Radio Malabar di Gn Puntang Malabar yang untuk pertama kalinya berhasil membuat sambungan telepon radio antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Stasiun Radio Malabar dengan seorang petinggi kerajaan Belanda di Nederland pada 3 Juni 1927. Peristiwa ini dianggap penting karena membawa Hindia Belanda ke dunia internasional dalam hal teknologi telekomunikasi
Monumen peringatan yang dirancang arsitek kondang Ir. C.P Wolff Schoemaker yang diresmikan pada 27 Januari 1930 tersebut  berbentuk tiga perempat bola yang diapit oleh dua patung laki-laki tanpa busana. Patung laki-laki yang pertama sedang menaruh tangan di mulutnya yang menandakan sedang berteriak sedangkan di sisi seberang bola terdapat patung laki-laki yang sedang menaruh tangan di telinganya seakan sedang mendengarkan. Karena kedua patung itu secara eksplisit memperlihatkan kedua bokong patung pria tersebut maka masyarakat menamakan monumen ini sebagai monumen pantat bugil (blotebillen monument)


(Monumen Stasiun Radio Malabar)

Selain tentang keberadaan Lapangan Citarum beserta monumennya, buku ini juga secara khusus mengetengahkan sejarah berdirinya Staisun Radio Malabar mulai dari berdirinya, masa kejayaannya hingga hancurnya stasiun Radio Malabar ini akibat perang. Pada tgl 24 Maret 1946 yang kelak dikenal sebagai Peristiwa Bandung Lautan Api, dilakukan pembakaran terhadap sarana-sarana vital yang dianggap dapat digunakan Belanda untuk melanggengkan kekuasaannya oleh para pejuang kemerdekaan. Menurut buku ini Stasiun Radio Malabar termasuk bangunan yang dihancurkan. Kejadian yang sangat disayangkan namun tidak juga bisa diasalahkan karena berdasarkan situasi saat itu, mau tidak mau Stasiun Radio Malabar harus memang harus dihancurkan daripada digunakan musuh sehingga menjadi ancaman bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
(Stasiun Radio Malabar)
Di lokasi bekas Stasiun Radio Malabar kini hanya dapat ditemui puing-puing bangunannya saja. Hancurnya peninggalan bersejarah  Stasiun Radio Malabar juga diikuti oleh dihancurkannya  monumen peringatan Stasiun Radio Malabar di Lapangan Citarum Bandung pada tahun 1950-an. Berbeda dengan dihancurkannya Stasiun Radio Malabar demi kepentingan perjuangan, dihancurkannya monumen peringatan di Lapangan Citarum hanya berdasarkan alasan kesusilaan.  Monumen ini dihancurkan tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah berdirinya. Dengan demikian hilang sudah bukti sejarah telekomunikasi yang tidak saja berskala lokal (Kota Bandung) maupun nasional, tetapi juga internasional hanya karena pantat bugil sang patung
Tahun 1960-an Lapangan Citarum benar-benar kehilangan pamornya. Lapangan yang dulu berhiaskan monumen yang indah itu dipenuhi tumbuhan liar hingga akhirnya di tahun 1970-an didirikan Masjid Istigamah yang pembangunannya dilakukan secara bertahap dan hingga kini masih berdiri dengan megahnya 
Buku ini ditulis dengan ringkas namun padat dan informatif ini dihiasi pula dengan puluhan foto yang tersaji dengan kualitas cetak yang bagus. Sayangnya tiap-tiap sub judul dicetak dengan huruf italic dengan warna yang kabur sehingga pembaca akan kesulitan membacanya. Diluar itu buku yang merupakan salah satu buku berseri tentang 'Bandung baheula jeung kiwari' (Bandung dahulu dan masa kini) ini sangat layak untuk diapresiasi karena selain untuk menghadirkan kembali pada kita semua  tentang bagian dari sejarah kota Bandung buku ini juga dapat menjadi pengingat akan kebodohan yang pernah kita lakukan dimana sebuah karya seni sebagai penanda sejarah  telekomunikasi di Indonesia dengan sengaja dihancurkan hanya karena alasan kesusilaan semata.  Semoga hal seperti ini tidak terulang kembali.
@htanzil

Monday, May 19, 2014

The Ahok Way by Piter Randan Bua

[No. 333]
Judul : The Ahok Way - Hidup adalah Kebenaran Mati adalah Keuntungan
Penulis : Piter Randan Bua
Penerbit : Inspiro
Cetakan : I, 2014
Tebal : 184 hlm
ISBN : 978-602-1315-07-01

Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa dengan Ahok, orang nomor dua (Wagub) di Provinsi DKI Jakarta kini sedang banyak dibicarakan orang. Gaya kepemimpinan dan sikapnya  yang pro rakyat, berani melawan arus, anti korupsi, dan sangat perduli pada rakyat jelata ini membuat  namanya sering muncul di media cetak dan elektronik dan ia juga dikenal sebagai pejabat dan politisi yang diharapkan dapat membawa perubahan di tengah kondisi bangsa yang carut marut akibat korupsi yang telah membudaya.

Apa yang dilakukan Ahok untuk menciptakan pemerintahan yang pro rakyat, bersih, bebas korpsi  tidaklah mudah, perlu idealisme dan keberanian. Jalan yang harus Ahok tempuh tidak mudah, penuh terjal dan berbatu namun  Ahok tak gentar karena baginya Hidup adalah kebenaran dan mati adalah keberuntungan. Lalu 'jalan' apa saja yang ditempuhnya selama ini?. Piter Randan Bua yang juga pernah menulis buku Berkaca pada Kepemimpinan Ahok - Sang Pemimpin yang Melayani, 2003  ini menjabarkan  6 jalan yang Ahok lalui yaitu :  Jalan Ahok dalam menegakkan kebenaran, pilihan politiknya, jalan mencegah korupsi dan menata birokrasi, jalan merajut keindonesiaan, jalan tentang kepemimpinan, jalan untuk bekerja bagi kepentingan rakyat.

Masing-masing jalan tersebut ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman Ahok baik pengalaman dari keluarganya, ketika menjadi anggota DPR, saat menjabat sebagai bupati Bangka Belitung,  hingga kini sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dari pengalaman-pengalaman Ahok tersebut penulis mengolahnya menjadi tulisan-tulisan kontempelatif yang sehingga dengan membaca buku ini kita bisa melihat bagaimana buruknya negeri ini dan bagaimana Ahok berjuang tanpa gentar untuk memberbaiki ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi selama ia diberi kesempatan sebagai pejabat publik di negeri ini.

Dalam menegakkan kebenaran penulis mengungkapkan bagaimana Ahok memilih jalan lurus untuk menegakkan kebenaran dan konstitusi  ia  sadar bahwa ia harus melalui jalan yang terjal. Bagi Ahok jalan kebenaran yang terjal lebih baik dari pada jalan yang dianggap lurus tapi ujungnya menuju kematian (korupsi, menjual kebenaran dan keadilan, manipulasi, dll). Ahok tak mau menempuh jalan itu karena itu ia mengatakan, "Saya memilih taat pada konstitusi daripada konsituen, apapun resikonya".

Ahok sadar sesadar-sadarnya bahwa untuk berani hidup lurus dan benar di negeri ini berarti siap untuk mati. Tapi Ahok tidak takut mati. baginya mati karena menegakkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan  adalah keuntungan.  Ia bahkan telah berpesan pada istrinya jika kelak nyawanya melayang karena apa yang diperjuangkannya

"Kalau saya sampai mati karena memperjuangkan kebenaran tolong saya dipulangkan dan dikuburkan di Belitung kalau mayat saya masih ditemukan, dan di atas batu nisan saya tulislah, "Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan"  
(hlm 30)

Ahok tidak takut mati karena menurutnya semua orang pasti akan mengalaminya.
"Orang benar dan penipu sama-sama akan mati. Masalahnya orang mau memilih mati sebagai pembohong atau sebagai orang benar. Tapi saya tidak mau mati konyol sebagai pembohong. Karena itu saya akan berusaha untuk hidup dan berbuat dalam kebenaran."  
(hlm 29)

Pada bagian yang membahas Jalan Ahok tentang pilihan politiknya, penulis mengungkapkan apa yang mendorong ia terjuan ke dunia politik, bagaimana  sikap  Ahok akan SARA, politik uang, serta bagaimana ia menentang arus political voice, cara berpolitik yang hanya mementingkan menang dalam pemilu dengan cara apapun termasuk money politik. Dalam berpolitik, Ahok menempuh  Prophetical Voice yaitu  sikap politik yang menyuarakan suara 'kenabian'  yaitu membawa misi pembebasan. Membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan serta mengayomi dan melindungi mereka yang tidak berdaya.

Dalam  mencegah korupsi dan menata birokrasi buku ini menjelaskan bagaimana  Ahok mencoba menjadi negarawan sejati, mencegah 'maling' jadi pejabat dengan cara memperbaiki sistem dan tatalaksana pemilu, bagaimana menghemat uang negara, dan bagaimana Ahok untuk melawan perilaku korup yaitu menjadikan dirinya sebagai pajabat.  Bisakah kaum minoritas seperti Ahok menjadi seorang pejabat? Bagi Ahok tidak ada istilah kaum mayoritas dan minoritas,

"Tidak ada kaum minoritas di bangsa ini dan tidak ada alasan seseorang menolak seseorang menjadi pemimpin karena agamanya di negara Pancasila, Indonesia tercinta. Bangsa ini seharusnya tak memiliki warga kelas dua, kelas tiga, dan seterusnya. Tak ada mayoritas ataupun minoritas. Siapapun berhak ikut membangun bangsa ini"
(hlm 96-97)

Menurut Ahok salah satu jalan yang paling efektif untuk melawan perilaku korup di negeri ini adalah menjadi pejabat,  menurutnya, "Jika pemimpinnya lurus maka orang yang dipimpinnya tak akan berani tidak lurus". Hal ini dibuktikannya ketika ia menjadi bupati di Belitung Timur dengan menerapkan sistem birokrasi yang bersih. Terbukti  birokrasi di wilayah yang dipimpinnya jadi wilayah bebas dari korupsi sehingga  mengantar dirinya menjadi salah satu dari 10 tokoh yang dianggap mampu mengubah Indonesia versi Majalah Tempo (ed. Desember 2006)
 
Dalam hal budaya korupsi dan politik uang  Ahok juga memulai dari bagaimana ia mendidik konstituennya sejak awal. Tidak seperti calon pejabat yang memberikan sejumlah uang atau kebutuhan pokok saat melakukan kampanye agar rakyat memilihnya. Ahok tidak memberikan apa pun kepada rakyatnya kecuali kartu nama dan nomor ponsel pribadinya. Cara ini ampuh karena kelak masyarakat memilihnya sebagai bupati Belitung Timur.


Masih banyak teladan lewat pengalaman Ahok yang bisa kita baca dalam buku ini seperti dalam hal merajut ke -Indonesiaan, tentang kepemimpinannya, dan bagaimana Ahok berkerja untuk kepentingan rakyat terlebih bagi orang-orang miskin, para petani, buruh, dan bagaimana pengalaman Ahok menegakkan HAM yang justru mendapat perlawanan dari institusi HAM sendiri. Semua itu terangkai dalam buku ini dengan baik sehingga membaca ke-6 jalan yang ditempuh Ahok ini  memberikan sebuah gambaran dari apa yang dialami Ahok sendiri beserta jalan terjal berbatu yaitu Indonesia  yang ia cintai.

Dengan membaca buku yini sosok Ahok terdeskripsikan sebagai seorang pemimpin yang membawa sebuah pengharapan. Sosok dan sepak terjang dalam memperjuangkan kepemimpinan yang bersih terlihat begitu luar biasa. Sayangnya buku ini tidak memberikan kegagalan atau kesalahan dari jalan yang ditempuh Ahok selama ini. Sebagai manusia biasa tentunya ia pernah gagal atau salah jalan, alangkah baiknya jika dalam buku ini juga dituliskan kegagalan atau kesalahan yang Ahok alami dan bagaimana ia menyikapinya sehingga pembaca tidak hanya melihat dari kebaikan Ahok saja melainkan juga dari kegagalan/kesalahan yang penah ia alami.

Terlepas dari hal itu sebagai sebuah buku tentang Ahok yang dikemas dalam lay out yang menarik plus puluhan foto-foto Ahok, dan ditulis secara kontempelatif ini ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Ada banyak quote-quote menarik yang bisa kita jadikan inspirasi untuk mengurai persoalan bangsa ini. Buku ini juga dengan jelas menampilkan dua sisi yang berbeda, satu sisi tentang kepemimpinan Ahok yang tegas, berani, jujur dan bersih, di sisi lain kebobrokan sistem birokrasi, sosial, dan politik Indonesia.

 Semoga dengan hadirnya buku ini akan menginsiprasi para pejabat, atau siapapun yang ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik lagi lsehingga kelak akan lahir pemimpin-pemimpin yang jujur, bersih, dan berani melawan ketidakadilan seperti yang diteladani Ahok lewat ke enam jalan yang ditempuhnya.

Selian itu tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, buku ini juga tentunya akan bermanfaat bagi Ahok sendiri, seperti kata penulisnya kehadiran buku ini juga akan menjadi kontrol bagi Ahok sekaligus akan menamparnya jika ia berpaling dari jalan kebenaran yang telah dipilihnya. Sanggupkah Ahok konsisten menempuh jalan itu? Waktu akan membuktikannya.

@htanzil

Daftar isi dari buku ini bisa dilihat di sini

Source : bukuygkubaca.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Recent Post