
Tjitaroemplein by Sudarsono Katam
[No. 334]
Judul : Tjitaroemplein
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal : 100 hlm
ISBN : 978-979-8003-42-4
Buku ini mengupas keberadaan Lapangan Citarum
(Tjitaroemplein) Bandung dari masa ke masa. Seiring perkembangan zaman
dan sejarah tentang lapangan ini yang tampaknya dilupakan orang Lapangan
Citarum kini sudah tidak ada, di bekas arealnya kini sudah berdiri tegak
Masjid Istiqomah Bandung dan sedikit taman yang dinamai Taman Citarum. Dengan membaca buku ini kita akan
mengetahui bahwa Lapangan Citarum yang telah hilang itu ternyata
memiliki sejarah panjang terkait sejarah
telekomunikasi Hindia Belanda (Indonesia) pada masa lampau.
Lapangan Citarum
pertama kali didirikan pada tahun 1918. Lapangan ini berbentuk elips yang
membujur dalam arah timur - barat yang terletak di
sebuah kompleks perumahan dimana terdapat sebuah kantor pos dan dua buah
sekolah yang didirikan pada tahun 1920-an.
Yang paling menarik dari lapangan ini adalah didirikannya
sebuah monumen di atas sebuah kolam sebagai peringatan keberhasilan stasiun
Radio Malabar di Gn Puntang Malabar yang untuk pertama kalinya berhasil membuat
sambungan telepon radio antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Stasiun
Radio Malabar dengan seorang
petinggi
kerajaan Belanda di Nederland pada 3 Juni 1927. Peristiwa ini dianggap
penting karena membawa Hindia Belanda ke dunia internasional dalam hal
teknologi telekomunikasi
Monumen peringatan yang dirancang arsitek kondang Ir. C.P Wolff Schoemaker yang diresmikan pada 27 Januari 1930 tersebut
berbentuk
tiga perempat bola yang diapit oleh
dua patung laki-laki tanpa busana. Patung laki-laki yang pertama sedang
menaruh
tangan di mulutnya yang menandakan sedang berteriak sedangkan di sisi
seberang
bola terdapat patung laki-laki yang sedang menaruh tangan di telinganya
seakan sedang
mendengarkan. Karena kedua patung itu secara eksplisit memperlihatkan
kedua bokong patung pria tersebut maka masyarakat menamakan monumen ini
sebagai monumen
pantat bugil (blotebillen monument)
(Monumen Stasiun Radio Malabar)
Selain tentang keberadaan Lapangan Citarum beserta monumennya, buku ini
juga
secara khusus mengetengahkan sejarah berdirinya Staisun Radio Malabar
mulai
dari berdirinya, masa kejayaannya hingga hancurnya stasiun Radio Malabar
ini
akibat perang. Pada tgl 24 Maret 1946 yang kelak dikenal sebagai
Peristiwa Bandung Lautan Api, dilakukan pembakaran terhadap
sarana-sarana vital yang dianggap dapat digunakan Belanda untuk
melanggengkan kekuasaannya oleh para pejuang kemerdekaan. Menurut buku
ini Stasiun Radio Malabar termasuk bangunan yang dihancurkan. Kejadian
yang sangat disayangkan namun tidak juga bisa diasalahkan karena
berdasarkan situasi saat itu, mau tidak mau Stasiun Radio Malabar harus
memang harus dihancurkan daripada digunakan musuh sehingga menjadi
ancaman bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
(Stasiun Radio Malabar)
Di lokasi bekas Stasiun Radio Malabar kini hanya dapat ditemui
puing-puing bangunannya saja. Hancurnya peninggalan bersejarah Stasiun
Radio
Malabar juga diikuti oleh dihancurkannya monumen peringatan Stasiun
Radio Malabar di
Lapangan Citarum Bandung pada tahun 1950-an. Berbeda dengan
dihancurkannya Stasiun Radio Malabar demi kepentingan perjuangan,
dihancurkannya monumen peringatan di Lapangan Citarum hanya berdasarkan
alasan kesusilaan. Monumen ini dihancurkan tanpa mempertimbangkan latar
belakang sejarah berdirinya. Dengan demikian hilang sudah bukti sejarah
telekomunikasi yang tidak saja berskala lokal (Kota Bandung) maupun
nasional, tetapi juga internasional hanya karena pantat bugil sang
patung
Tahun 1960-an Lapangan Citarum benar-benar kehilangan
pamornya. Lapangan yang dulu berhiaskan monumen yang indah itu dipenuhi tumbuhan liar hingga akhirnya di tahun 1970-an
didirikan Masjid Istigamah yang pembangunannya dilakukan secara bertahap dan
hingga kini masih berdiri dengan megahnya
Buku ini ditulis dengan ringkas namun padat dan informatif ini dihiasi
pula dengan puluhan foto yang tersaji dengan kualitas cetak yang bagus.
Sayangnya tiap-tiap sub judul dicetak dengan huruf italic dengan warna
yang kabur sehingga pembaca akan kesulitan membacanya. Diluar itu buku
yang merupakan salah satu buku berseri tentang 'Bandung baheula jeung kiwari'
(Bandung dahulu dan masa kini) ini sangat layak untuk diapresiasi
karena selain untuk menghadirkan kembali pada kita semua tentang bagian
dari sejarah kota Bandung buku ini juga dapat menjadi pengingat akan
kebodohan yang pernah kita lakukan dimana sebuah
karya seni sebagai penanda sejarah telekomunikasi di Indonesia dengan
sengaja dihancurkan hanya karena alasan kesusilaan semata. Semoga hal
seperti ini tidak terulang kembali.
@htanzil
[No. 333]
Judul : The Ahok Way - Hidup adalah Kebenaran Mati adalah Keuntungan
Penulis : Piter Randan Bua
Penerbit : Inspiro
Cetakan : I, 2014
Tebal : 184 hlm
ISBN : 978-602-1315-07-01
Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa dengan Ahok, orang nomor dua
(Wagub) di Provinsi DKI Jakarta kini sedang banyak dibicarakan orang.
Gaya kepemimpinan dan sikapnya yang pro rakyat, berani melawan arus,
anti korupsi, dan sangat perduli pada rakyat jelata ini membuat namanya
sering muncul di media cetak dan elektronik dan ia juga dikenal sebagai
pejabat dan politisi yang diharapkan dapat membawa perubahan di tengah
kondisi bangsa yang carut marut akibat korupsi yang telah membudaya.
Apa yang dilakukan Ahok untuk menciptakan pemerintahan yang pro rakyat,
bersih, bebas korpsi tidaklah mudah, perlu idealisme dan keberanian.
Jalan yang harus Ahok tempuh tidak mudah, penuh terjal dan berbatu
namun Ahok tak gentar karena baginya Hidup adalah kebenaran dan mati
adalah keberuntungan. Lalu 'jalan' apa saja yang ditempuhnya selama
ini?. Piter Randan Bua yang juga pernah menulis buku Berkaca pada Kepemimpinan Ahok - Sang Pemimpin yang Melayani,
2003 ini menjabarkan 6 jalan yang Ahok lalui yaitu : Jalan Ahok
dalam menegakkan kebenaran, pilihan politiknya, jalan mencegah korupsi
dan menata birokrasi, jalan merajut keindonesiaan, jalan tentang
kepemimpinan, jalan untuk bekerja bagi kepentingan rakyat.
Masing-masing jalan tersebut ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman
Ahok baik pengalaman dari keluarganya, ketika menjadi anggota DPR, saat
menjabat sebagai bupati Bangka Belitung, hingga kini sebagai Wakil
Gubernur DKI Jakarta. Dari pengalaman-pengalaman Ahok tersebut penulis
mengolahnya menjadi tulisan-tulisan kontempelatif yang sehingga dengan
membaca buku ini kita bisa melihat bagaimana buruknya negeri ini dan
bagaimana Ahok berjuang tanpa gentar untuk memberbaiki ketidakadilan dan
ketimpangan yang terjadi selama ia diberi kesempatan sebagai pejabat
publik di negeri ini.
Dalam menegakkan kebenaran penulis mengungkapkan bagaimana Ahok memilih
jalan lurus untuk menegakkan kebenaran dan konstitusi ia sadar bahwa
ia harus melalui jalan yang terjal. Bagi Ahok jalan kebenaran yang
terjal lebih baik dari pada jalan yang dianggap lurus tapi ujungnya
menuju kematian (korupsi, menjual kebenaran dan keadilan, manipulasi,
dll). Ahok tak mau menempuh jalan itu karena itu ia mengatakan, "Saya memilih taat pada konstitusi daripada konsituen, apapun resikonya".
Ahok sadar sesadar-sadarnya bahwa untuk berani hidup lurus dan benar di
negeri ini berarti siap untuk mati. Tapi Ahok tidak takut mati. baginya
mati karena menegakkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan adalah
keuntungan. Ia bahkan telah berpesan pada istrinya jika kelak nyawanya
melayang karena apa yang diperjuangkannya
"Kalau saya sampai mati karena memperjuangkan kebenaran tolong saya
dipulangkan dan dikuburkan di Belitung kalau mayat saya masih ditemukan,
dan di atas batu nisan saya tulislah, "Hidup adalah Kristus dan mati
adalah keuntungan"
(hlm 30)
Ahok tidak takut mati karena menurutnya semua orang pasti akan mengalaminya.
"Orang benar dan penipu sama-sama akan mati. Masalahnya orang mau
memilih mati sebagai pembohong atau sebagai orang benar. Tapi saya tidak
mau mati konyol sebagai pembohong. Karena itu saya akan berusaha untuk
hidup dan berbuat dalam kebenaran."
(hlm 29)
Pada bagian yang membahas Jalan Ahok tentang pilihan politiknya, penulis
mengungkapkan apa yang mendorong ia terjuan ke dunia politik,
bagaimana sikap Ahok akan SARA, politik uang, serta bagaimana ia
menentang arus political voice, cara berpolitik yang hanya
mementingkan menang dalam pemilu dengan cara apapun termasuk money
politik. Dalam berpolitik, Ahok menempuh Prophetical Voice
yaitu sikap politik yang menyuarakan suara 'kenabian' yaitu membawa
misi pembebasan. Membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan serta
mengayomi dan melindungi mereka yang tidak berdaya.
Dalam mencegah korupsi dan menata birokrasi buku ini menjelaskan
bagaimana Ahok mencoba menjadi negarawan sejati, mencegah 'maling' jadi
pejabat dengan cara memperbaiki sistem dan tatalaksana pemilu,
bagaimana menghemat uang negara, dan bagaimana Ahok untuk melawan
perilaku korup yaitu menjadikan dirinya sebagai pajabat. Bisakah kaum
minoritas seperti Ahok menjadi seorang pejabat? Bagi Ahok tidak ada
istilah kaum mayoritas dan minoritas,
"Tidak ada kaum minoritas di bangsa ini dan tidak ada alasan
seseorang menolak seseorang menjadi pemimpin karena agamanya di negara
Pancasila, Indonesia tercinta. Bangsa ini seharusnya tak memiliki warga
kelas dua, kelas tiga, dan seterusnya. Tak ada mayoritas ataupun
minoritas. Siapapun berhak ikut membangun bangsa ini"
(hlm 96-97)
Menurut Ahok salah satu jalan yang paling efektif untuk melawan perilaku
korup di negeri ini adalah menjadi pejabat, menurutnya, "Jika pemimpinnya lurus maka orang yang dipimpinnya tak akan berani tidak lurus".
Hal ini dibuktikannya ketika ia menjadi bupati di Belitung Timur dengan
menerapkan sistem birokrasi yang bersih. Terbukti birokrasi di wilayah
yang dipimpinnya jadi wilayah bebas dari korupsi sehingga mengantar
dirinya menjadi salah satu dari 10 tokoh yang dianggap mampu mengubah
Indonesia versi Majalah Tempo (ed. Desember 2006)
Dalam hal budaya korupsi dan politik uang Ahok juga memulai dari
bagaimana ia mendidik konstituennya sejak awal. Tidak seperti calon
pejabat yang memberikan sejumlah uang atau kebutuhan pokok saat
melakukan kampanye agar rakyat memilihnya. Ahok tidak memberikan apa pun
kepada rakyatnya kecuali kartu nama dan nomor ponsel pribadinya. Cara
ini ampuh karena kelak masyarakat memilihnya sebagai bupati Belitung
Timur.
Masih banyak teladan lewat pengalaman Ahok yang bisa kita baca dalam
buku ini seperti dalam hal merajut ke -Indonesiaan, tentang
kepemimpinannya, dan bagaimana Ahok berkerja untuk kepentingan rakyat
terlebih bagi orang-orang miskin, para petani, buruh, dan bagaimana
pengalaman Ahok menegakkan HAM yang justru mendapat perlawanan dari
institusi HAM sendiri. Semua itu terangkai dalam buku ini dengan baik
sehingga membaca ke-6 jalan yang ditempuh Ahok ini memberikan sebuah
gambaran dari apa yang dialami Ahok sendiri beserta jalan terjal berbatu
yaitu Indonesia yang ia cintai.
Dengan membaca buku yini sosok Ahok terdeskripsikan sebagai seorang
pemimpin yang membawa sebuah pengharapan. Sosok dan sepak terjang dalam
memperjuangkan kepemimpinan yang bersih terlihat begitu luar biasa.
Sayangnya buku ini tidak memberikan kegagalan atau kesalahan dari jalan
yang ditempuh Ahok selama ini. Sebagai manusia biasa tentunya ia pernah
gagal atau salah jalan, alangkah baiknya jika dalam buku ini juga
dituliskan kegagalan atau kesalahan yang Ahok alami dan bagaimana ia
menyikapinya sehingga pembaca tidak hanya melihat dari kebaikan Ahok
saja melainkan juga dari kegagalan/kesalahan yang penah ia alami.
Terlepas dari hal itu sebagai sebuah buku tentang Ahok yang dikemas
dalam lay out yang menarik plus puluhan foto-foto Ahok, dan ditulis
secara kontempelatif ini ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Ada
banyak quote-quote menarik yang bisa kita jadikan inspirasi untuk
mengurai persoalan bangsa ini. Buku ini juga dengan jelas menampilkan
dua sisi yang berbeda, satu sisi tentang kepemimpinan Ahok yang tegas,
berani, jujur dan bersih, di sisi lain kebobrokan sistem birokrasi,
sosial, dan politik Indonesia.
Semoga dengan hadirnya buku ini akan menginsiprasi para pejabat, atau
siapapun yang ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik lagi
lsehingga kelak akan lahir pemimpin-pemimpin yang jujur, bersih, dan
berani melawan ketidakadilan seperti yang diteladani Ahok lewat ke enam
jalan yang ditempuhnya.
Selian itu tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, buku ini juga
tentunya akan bermanfaat bagi Ahok sendiri, seperti kata penulisnya
kehadiran buku ini juga akan menjadi kontrol bagi Ahok sekaligus akan
menamparnya jika ia berpaling dari jalan kebenaran yang telah
dipilihnya. Sanggupkah Ahok konsisten menempuh jalan itu? Waktu akan
membuktikannya.
@htanzil
Daftar isi dari buku ini bisa dilihat di sini
Source : bukuygkubaca.blogspot.com